Dari Budak ke Kopi dan Kerbau: Sejarah Pasar Bolu dan Makale di Tana Toraja
Pasar Bolu Dan Makale: Jejak Budaya Dan Peradaban Di Pasar Tradisional Toraja
Jika Anda ingin memahami jiwa Tana Toraja, jangan hanya mengunjungi situs pemakaman kuno atau desa adat di atas awan. Pergilah ke jantung denyut nadinya: pasar tradisional. Pasar di Toraja berfungsi tidak hanya sebagai alat penjualan dan pertukaran, namun pada kenyataannya, ia adalah cerminan hidup dari budaya, status sosial, dan peradaban masyarakat Toraja.
Dua pasar terbesar, Pasar Bolu dan Pasar Makale, adalah episentrum dari kehidupan ini. Sebelum kita menyelami keriuhan dan pemandangan unik di dalamnya, penting untuk memahami sejarah panjang yang membentuk peran pasar-pasar ini.
Sejarah Perdagangan Toraja: Dari Budak Hingga Kopi
Jauh sebelum menjadi destinasi wisata, Toraja adalah pemain penting dalam sistem perdagangan global. Meskipun lanskapnya bergunung-gunung dan tampak tidak dapat diakses, ini tidak menghalangi posisinya.
Pada abad ke-17, komoditas utamanya adalah budak yang diperdagangkan hingga ke Siam. Memasuki pertengahan abad ke-19, perdagangan meningkat pesat dengan kopi dan senjata api ditambahkan ke dalam daftar. Kopi berkualitas tinggi dan budak diekspor dari dataran tinggi Toraja, sementara senjata api dan kain-kain berharga dibawa masuk. Nilai kopi Toraja begitu tinggi hingga memicu “Perang Kopi” di sekitar tahun 1890, membuktikan betapa vitalnya komoditas ini.
Selama masa itu, pasar dijalankan oleh berbagai kelompok etnis yang seringkali berperang satu sama lain. Pasar terbesar saat itu adalah Pasar Kalambe (kini dikenal sebagai Pasar Bolu) dan Pasar Rantepao (kini dikenal sebagai Pasar Pagi Rantepao).
Pasar Bolu: Jantung Perdagangan Kerbau Toraja
Terletak di Rantepao, pusat wisata Toraja, Pasar Bolu (Pasar Hewan Bolu) lebih dari sekadar objek wisata; ia sering disebut sebagai pasar kerbau terbesar di dunia.
Pasar ini memiliki jadwal unik yang dikenal sebagai “Hari Pasaran,” yang jatuh hanya sekali dalam enam hari. Pada hari inilah pasar meledak dalam keriuhan. Ratusan, bahkan terkadang hingga 500 ekor kerbau, diperjualbelikan untuk memenuhi kebutuhan utama: upacara adat.
Pada hari pasar, “jalan-jalan” Bolu ramai dikunjungi orang lokal untuk transaksi, serta wisatawan yang takjub menyaksikan pemandangan itu. Selain kerbau, babi, sayuran, buah, dan kopi Toraja yang legendaris juga bisa ditemukan di sini.
Harga Sebuah Status: Tedong Bonga dan Saleko
Di Pasar Bolu, kerbau adalah raja, dan harganya mencerminkan status. Nilainya tidak hanya ditentukan oleh ukuran, tetapi oleh warna dan coraknya.
- Kerbau hitam kecil: Sekitar Rp 15-30 juta.
- Kerbau hitam besar: Bisa mencapai Rp 30-100juta.
- Tedong Bonga (kerbau berbintik): Dianggap unggul dan bisa dijual puluhan juta-ratusan juta rupiah.
- Kerbau Albino (Saleko): Jenis paling langka dan sangat dihargai, harganya bisa mencapai ratusan juta hingga milyaran rupiah per ekor.
Puncak penjualan terjadi pada musim liburan (Juni-Juli) dan akhir tahun (November-Desember), bertepatan dengan musim upacara adat Rambu Solo’.
Pasar Makale: “Pasar Babi” Khas Tana Toraja
Jika Bolu adalah pasar kerbau, maka Pasar Makale adalah pusat perdagangan babi. Terletak di blok sekitar 50 x 20 meter, pasar ini sering dijuluki sebagai “Pasar Swine.” Seperti Bolu, Pasar Makale juga hanya buka sekali dalam enam hari.
Pasar ini dibagi menjadi tiga bagian yang jelas:
- Anak Babi (Bibit): Disimpan dalam karung beras, hanya dibuka agar calon pembeli bisa mengintip kualitasnya. Anak babi ini biasanya dibeli untuk dipelihara dan dibesarkan.
- Babi Dewasa Hidup: Biasanya diikat pada tiang-tiang bambu di aula utama, menunggu pembeli untuk upacara.
- Daging Babi: Area penjualan daging potong.
Harga babi berkisar dari Rp3000.000 – 5.00.000 untuk anak babi, sementara babi dewasa berharga antara Rp 5 – 15 juta. Beberapa babi dengan ukuran super bahkan bisa terjual puluhan juta, dengan bobot yang menyaingi seekor kerbau.
Uniknya, preferensi warna di Pasar Makale berkebalikan dengan Pasar Bolu. Jika pada kerbau jenis albino adalah yang termahal, pada babi, justru babi hitam legam yang harganya lebih mahal daripada babi albino atau yang buram.
Makna Spiritual: Hewan sebagai Simbol Status dan Kendaraan Menuju Puya
Untuk memahami mengapa pasar-pasar ini begitu vital, kita harus melihat keyakinan masyarakat Toraja. Meskipun mayoritas penduduk adalah Kristen, ajaran leluhur Aluk To Dolo (Animisme) masih dipegang teguh. Dalam sistem kepercayaan ini, hewan memiliki peran sentral.
Kerbau adalah persyaratan mutlak dalam upacara adat, terutama Rambu Solo’ (upacara pemakaman). Masyarakat Toraja percaya bahwa kerbau yang disembelih tidak hanya menghormati almarhum, tetapi juga bertindak sebagai kendaraan bagi roh orang yang meninggal untuk mencapai Puya (alam baka atau nirwana versi Toraja).
Kerbau dan babi juga berfungsi sebagai simbol status. Semakin tinggi posisi keluarga, semakin banyak kerbau yang harus disembelih. Untuk keluarga kelas menengah, 8 ekor kerbau dan 50 ekor babi merupakan jumlah wajib yang harus dipenuhi saat melakukan pemakaman tradisional. Bagi bangsawan, sebanyak 25 – 100 ekor kerbau bisa dibantai. Pengorbanan hewan ini adalah cara untuk melegitimasi dan menegaskan status sosial keluarga di mata masyarakat.
Warisan yang Terus Hidup
Selama berabad-abad, banyak hal telah berubah di Toraja. Namun, beberapa hal tetap sama. Keberadaan Pasar Bolu dan Pasar Makale sangat terintegrasi dengan siklus kehidupan, kematian, dan tradisi.
Denyut nadi pasar ini berdetak seirama dengan kalender adat Toraja. Mereka bukan sekadar tempat transaksi ekonomi, melainkan panggung sosial, arena pameran status, dan pilar penjaga tradisi. Hari pasar adalah bagian dari warisan masyarakat Toraja yang tidak pernah bisa dipisahkan.